Friday, 24 March 2017

Asas Kekeluargaan dan Semangat Gotong Royong Sebagai Pemecah Belah Bangsa

Yak selamat malam semua. Belakangan ini saya sering memikirkan banyak hal secara berat. Termasuk mengenai apa yang menjadi judul post ini. Sungguh ini ga bermaksut provokasi sama sekali. Dan entah sebenernya penting atau engga tapi menurut saya penting. Iya saya sadar bahwa penting atau tidak itu relatif, tapi bagi saya ini penting demi kemajuan dan perkembangan masyarakat kita di masa depan. Tapi kan itu tujuan menurut saya, entah bagaimana menurut Anda? Entah bagaimana menurut khalayak umum? Lantas yang manakah tujuan yang hakiki? Susah ya hehehe. Ok tapi karna saya menulis dalam rangka menyalurkan argumen, saya akan menulis apa yg menurut saya benar. Barangkali bisa menambah sudut pandang para pembaca, mari kita simak.

Sejak kecil kita udah diajarin dan dikenalkan dengan istilah-istilah "semangat gotong royong" maupun "asas kekeluargaan." Sebenernya dalam tulisan ini saya bakal lebih fokus ke asas kekeluargaannya. Semangat gotong royongnya sebagai pelengkap aja, tapi emang biasanya perwujudan asas kekeluargaan selalu dibarengi dengan 'semangat gotong royong' yakan? Katanya sih 'yang penting solid dan bareng-bareng' wqwq. Kalo ngga salah, saya mulai familiar dengan kata-kata itu sejak duduk di bangku SD. Coba renungkan tanpa googling, apa sih sebenernya arti kata-kata itu? Mungkin Anda semua punya definisinya masing-masing, tapi apapun itu, menurut saya asas kekeluargaan ini mempunyai efek samping yang cukup fatal, yakni mematikan profesionalitas. Bagai pisau bermata dua, asas kekeluargaan ini punya efek baik tapi membawa efek buruk juga. Iya saya ngerti kalo yg diharapkan tumbuh di kita – sebagai generasi penerus bangsa (katanya sih gitu) – adalah efek baiknya, dan memang seharusnya begitu. Tapi sayangnya yang belakangan ini (belakangan sejak lama sebenernya) justru banyak berkembang adalah efek buruknya.

Contoh gampangnya gini deh, apa pendapat Anda tentang ibu-ibu yang naik motor ngga pake helm, mboncengin dua anaknya buat sekolah, jalan di tengah agak ke kiri tapi pasang sein kanan? Lalu pengendara di belakangnya membunyikan klakson dengan lama, "tiiiiiiiiiiin" lantas si ibu tadi membalasnya dengan senyuman manja. Apakah si Ibu salah?
Contoh lain, apa pendapat Anda tentang pelaku kejahatan (misal begal) yang masih di bawah umur yang mendapat sanksi tidak sesuai hukum yg berlaku karna masih di bawah umur?

Nah untuk kasus yg pertama, ada dua pilihan jawaban: pertama, sudah jelas si Ibu salah, karna ngga pake helm, boncengan bertiga, membahayakan pengendara lain, yang mana itu semua menyalahi aturan yg ada. Pilihan kedua, si Ibu ngga salah, karna dia seorang wanita yg harus dihormati, mengantarkan anaknya untuk mengenyam pendidikan, dan mungkin dgn segala keterbatasan kondisinya yang kita tidak paham, dia jadi harus berlaku seperti itu. Di Indonesia, kedua pilihan jawaban itu benar. Mohon maaf bukan bermaksut bias gender atau diskredit terhadap ibu-ibu, tapi itu realita yang sering kita jumpai.

Untuk kasus yang kedua juga ada dua pilihan jawaban: pilihan pertama, pelaku jelas melakukan tindak kriminal dan harus dihukum sesuai ketentuan yg berlaku. Pilihan kedua, pelaku tidak perlu dihukum sesuai ketentuan karna masih di bawah umur, emosi belum stabil, berasal dr keluarga broken home, dan dia adalah calon penerus bangsa yg mana kalo dia dipenjara, masa depannya akan rusak. Lagi-lagi, di Indonesia, kedua jawaban adalah benar.

Do you get the point?

Menurut saya, asas kekeluargaan secara implisit membuat kita kelewatan dalam memaklumi orang lain; terlalu memahami kondisi orang lain hingga melanggar batas-batas profesionalisme. Memaklumi bukanlah hal yang salah, dan saya pun sadar itu sangat penting, bahkan agama saya juga mengajarkan untuk bertoleransi. Tapi mau sejauh apa kita memaklumi orang lain? Yang belakangan ini menjadi sangat salah adalah ketika kita mengabaikan ketentuan yang ada, demi "biar sama-sama enak aja." Dan pada batas tertentu ini menjadi sangat konyol karna....buat apa ada aturan kalo gitu?

Inget ya, aturan itu ada supaya orang ga semena-mena dan untuk menciptakan ketertiban di masyarakat. Kalo masyarakat tertib, sistem bisa berjalan dengan baik. Jangan dikira aturan dibuat dengan sembarangan, aturan dibuat oleh orang-orang terpilih – yang mana mereka sudah punya bekal ilmu buanyaak dan mereka bahkan dibayar untuk membuat peraturan –  yang tentunya sudah mempertimbangkan dengan matang untuk bisa memenuhi keadilan dan mencakup semua kepetingan masyarakat dari segala kalangan dan semua lapisan. Efek sampingnya pun juga pasti sudah dipikirkan. NAH, jadi kalo perumusannya ini sudah menghasilkan suatu 'aturan,' ya sudah kita sebagai rakyat mah ngga ada pilihan lain selain tunduk dan menaati! Janganlah kita terus melakukan 'negosiasi' di akhir karna emang kita ngga berhak. Kalo semua orang mau nego dengan alasannya masing-masing, yha ngga jadi tertib lah bro, ngga perlu ada aturan kalo begitu!

Anda bisa jadi sampai pada tingkat pemikiran bahwa  'aturan itu ada untuk dilanggar,' tapi Anda harus paham betul apa makna di balik itu dan kenapa bisa tercipta pernyataan seperti itu. Kalo belum ngerti, ngga usah sok-sokan kritis deh. Jangan jadi masyarakat yang sok kritis padahal cuma ngga mau keluar dari zona nyaman; yang sudah nyaman dengan kondisinya sekarang hingga membuat berbagai pembenaran yang dipoles dengan bumbu-bumbu sok kritis.

Misal begini, Anda seorang mahasiswa dan kampus Anda melarang mahasiswanya utk membawa mobil (sendiri) untuk kegiatan perkuliahan. Tapi ternyata Anda tetap membawa mobil dgn alasan "tempat tinggal saya jauh" sebenernya Anda naik motor pun jaraknya juga sama aja. Atau mungkin alasan "nanti kehujanan," Anda bisa aja naik motor bawa mantol. Atau alasan "panas," kalo ini alasan manja dan bodoamat untuk ditanggepin. Atau alasan "ortu saya ga ngebolehin naik motor," Anda bisa aja diantar ortu atau naik taksi. Artinya, apapun ketentuannya, Anda yg harus menyesuaikan diri dgn ketentuan, bukan ketentuan yg harus dipaksa menyesuaikan Anda. Kalo ga sanggup nyesuaiin, ya mending kuliah di tempat lain aja. Gitu lho. Mungkin terkesan jahat dan ga peduli, tapi itu yang bener.

Bukannya milih antara hitam atau putih, tapi malah menciptakan area abu-abu yang sangat luas.
Yak itu bener banget, dan sungguh area abu-abu itu bisa menjadi sangat luas karena beribu-ribu alasan bisa diciptakan untuk mengaburkan ketentuan yang sebenernya sudah ada. Bagi saya itu sangat konyol. Dan menurut saya, asas kekeluargaan ini menumbuhkan pola pikir yang seperti itu pada masyarakat.

Kalo dibiarkan, efek jangka panjangnya bakal mengarah ke musuh terbesar negeri ini; korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oiya, penyalahgunaan kewenangan jabatan juga. Tindakan-tindakan tersebut menurut saya juga sangat dipengaruhi oleh pola pikir kekeluargaan. Mungkin pelaku-pelaku ini ada yang dasarnya ngga berniat korup atau serakah, tapi karna ada unsur rasa "ngga enak ngga enakan," "pekewuh," "balas budi," dan semacamnya, mereka terjerumus juga jadinya. Balas budi bukan hal yang salah, tapi kan ada cara yang benar untuk melakukannya, tanpa harus merugikan orang lain.

So, do you get the point?

Saya rasa Anda semua sudah cukup cerdas untuk mengerti apa yang saya bicarakan. Perlu dipahami bahwa contoh-contoh kasus yang saya sebutkan di atas tidak mengandung makna terselubung dan bahwasanya saya tidak bermaksud untuk menyasar secara spesifik asas kekeluargaan pada kasus-kasus itu saja, tetapi yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana asas kekeluargaan membawa pengaruh – yang dalam konteks tertentu – buruk pada pola pikir masyarakat kita ketika sudah berhadapan dengan masalah secara nyata.

Sayang seribu sayang, kita tidak bisa – dan tidak boleh – memutuskan secara pribadi untuk kemudian meninggalkan asas kekeluargaan begitu saja, karena pada beberapa titik, hal ini akan dianggap berbenturan dengan nilai-nilai kebudayaan, adat-istiadat, atau bahkan nilai-nilai ideologi negara. Emang sebenernya bakal jadi masalah sensitif kalau kita secara gamblang menunjukkan pertentangan dengan tidak bijak. Jadi pesan saya untuk teman-teman segenerasi, belajarlah yang bener, bersikaplah bijak, dan tetap profesional; tahu kapan pantas melunak dan kapan tidak. Kalo udah pinter, mau apatis dan idealis dengan meninggalkan asas kekeluargaan, mari kita pindah ke luar negeri wkwkw.