Yak selamat malam semua. Belakangan ini saya sering memikirkan banyak hal secara berat. Termasuk mengenai apa yang menjadi judul post ini. Sungguh ini ga bermaksut provokasi sama sekali. Dan entah sebenernya penting atau engga tapi menurut saya penting. Iya saya sadar bahwa penting atau tidak itu relatif, tapi bagi saya ini penting demi kemajuan dan perkembangan masyarakat kita di masa depan. Tapi kan itu tujuan menurut saya, entah bagaimana menurut Anda? Entah bagaimana menurut khalayak umum? Lantas yang manakah tujuan yang hakiki? Susah ya hehehe. Ok tapi karna saya menulis dalam rangka menyalurkan argumen, saya akan menulis apa yg menurut saya benar. Barangkali bisa menambah sudut pandang para pembaca, mari kita simak.
Sejak kecil kita udah diajarin dan dikenalkan dengan istilah-istilah "semangat gotong royong" maupun "asas kekeluargaan." Sebenernya dalam tulisan ini saya bakal lebih fokus ke asas kekeluargaannya. Semangat gotong royongnya sebagai pelengkap aja, tapi emang biasanya perwujudan asas kekeluargaan selalu dibarengi dengan 'semangat gotong royong' yakan? Katanya sih 'yang penting solid dan bareng-bareng' wqwq. Kalo ngga salah, saya mulai familiar dengan kata-kata itu sejak duduk di bangku SD. Coba renungkan tanpa googling, apa sih sebenernya arti kata-kata itu? Mungkin Anda semua punya definisinya masing-masing, tapi apapun itu, menurut saya asas kekeluargaan ini mempunyai efek samping yang cukup fatal, yakni mematikan profesionalitas. Bagai pisau bermata dua, asas kekeluargaan ini punya efek baik tapi membawa efek buruk juga. Iya saya ngerti kalo yg diharapkan tumbuh di kita – sebagai generasi penerus bangsa (katanya sih gitu) – adalah efek baiknya, dan memang seharusnya begitu. Tapi sayangnya yang belakangan ini (belakangan sejak lama sebenernya) justru banyak berkembang adalah efek buruknya.
Contoh gampangnya gini deh, apa pendapat Anda tentang ibu-ibu yang naik motor ngga pake helm, mboncengin dua anaknya buat sekolah, jalan di tengah agak ke kiri tapi pasang sein kanan? Lalu pengendara di belakangnya membunyikan klakson dengan lama, "tiiiiiiiiiiin" lantas si ibu tadi membalasnya dengan senyuman manja. Apakah si Ibu salah?
Contoh lain, apa pendapat Anda tentang pelaku kejahatan (misal begal) yang masih di bawah umur yang mendapat sanksi tidak sesuai hukum yg berlaku karna masih di bawah umur?
Nah untuk kasus yg pertama, ada dua pilihan jawaban: pertama, sudah jelas si Ibu salah, karna ngga pake helm, boncengan bertiga, membahayakan pengendara lain, yang mana itu semua menyalahi aturan yg ada. Pilihan kedua, si Ibu ngga salah, karna dia seorang wanita yg harus dihormati, mengantarkan anaknya untuk mengenyam pendidikan, dan mungkin dgn segala keterbatasan kondisinya yang kita tidak paham, dia jadi harus berlaku seperti itu. Di Indonesia, kedua pilihan jawaban itu benar. Mohon maaf bukan bermaksut bias gender atau diskredit terhadap ibu-ibu, tapi itu realita yang sering kita jumpai.
Untuk kasus yang kedua juga ada dua pilihan jawaban: pilihan pertama, pelaku jelas melakukan tindak kriminal dan harus dihukum sesuai ketentuan yg berlaku. Pilihan kedua, pelaku tidak perlu dihukum sesuai ketentuan karna masih di bawah umur, emosi belum stabil, berasal dr keluarga broken home, dan dia adalah calon penerus bangsa yg mana kalo dia dipenjara, masa depannya akan rusak. Lagi-lagi, di Indonesia, kedua jawaban adalah benar.
Do you get the point?
Menurut saya, asas kekeluargaan secara implisit membuat kita kelewatan dalam memaklumi orang lain; terlalu memahami kondisi orang lain hingga melanggar batas-batas profesionalisme. Memaklumi bukanlah hal yang salah, dan saya pun sadar itu sangat penting, bahkan agama saya juga mengajarkan untuk bertoleransi. Tapi mau sejauh apa kita memaklumi orang lain? Yang belakangan ini menjadi sangat salah adalah ketika kita mengabaikan ketentuan yang ada, demi "biar sama-sama enak aja." Dan pada batas tertentu ini menjadi sangat konyol karna....buat apa ada aturan kalo gitu?
Inget ya, aturan itu ada supaya orang ga semena-mena dan untuk menciptakan ketertiban di masyarakat. Kalo masyarakat tertib, sistem bisa berjalan dengan baik. Jangan dikira aturan dibuat dengan sembarangan, aturan dibuat oleh orang-orang terpilih – yang mana mereka sudah punya bekal ilmu buanyaak dan mereka bahkan dibayar untuk membuat peraturan – yang tentunya sudah mempertimbangkan dengan matang untuk bisa memenuhi keadilan dan mencakup semua kepetingan masyarakat dari segala kalangan dan semua lapisan. Efek sampingnya pun juga pasti sudah dipikirkan. NAH, jadi kalo perumusannya ini sudah menghasilkan suatu 'aturan,' ya sudah kita sebagai rakyat mah ngga ada pilihan lain selain tunduk dan menaati! Janganlah kita terus melakukan 'negosiasi' di akhir karna emang kita ngga berhak. Kalo semua orang mau nego dengan alasannya masing-masing, yha ngga jadi tertib lah bro, ngga perlu ada aturan kalo begitu!
Anda bisa jadi sampai pada tingkat pemikiran bahwa 'aturan itu ada untuk dilanggar,' tapi Anda harus paham betul apa makna di balik itu dan kenapa bisa tercipta pernyataan seperti itu. Kalo belum ngerti, ngga usah sok-sokan kritis deh. Jangan jadi masyarakat yang sok kritis padahal cuma ngga mau keluar dari zona nyaman; yang sudah nyaman dengan kondisinya sekarang hingga membuat berbagai pembenaran yang dipoles dengan bumbu-bumbu sok kritis.
Inget ya, aturan itu ada supaya orang ga semena-mena dan untuk menciptakan ketertiban di masyarakat. Kalo masyarakat tertib, sistem bisa berjalan dengan baik. Jangan dikira aturan dibuat dengan sembarangan, aturan dibuat oleh orang-orang terpilih – yang mana mereka sudah punya bekal ilmu buanyaak dan mereka bahkan dibayar untuk membuat peraturan – yang tentunya sudah mempertimbangkan dengan matang untuk bisa memenuhi keadilan dan mencakup semua kepetingan masyarakat dari segala kalangan dan semua lapisan. Efek sampingnya pun juga pasti sudah dipikirkan. NAH, jadi kalo perumusannya ini sudah menghasilkan suatu 'aturan,' ya sudah kita sebagai rakyat mah ngga ada pilihan lain selain tunduk dan menaati! Janganlah kita terus melakukan 'negosiasi' di akhir karna emang kita ngga berhak. Kalo semua orang mau nego dengan alasannya masing-masing, yha ngga jadi tertib lah bro, ngga perlu ada aturan kalo begitu!
Anda bisa jadi sampai pada tingkat pemikiran bahwa 'aturan itu ada untuk dilanggar,' tapi Anda harus paham betul apa makna di balik itu dan kenapa bisa tercipta pernyataan seperti itu. Kalo belum ngerti, ngga usah sok-sokan kritis deh. Jangan jadi masyarakat yang sok kritis padahal cuma ngga mau keluar dari zona nyaman; yang sudah nyaman dengan kondisinya sekarang hingga membuat berbagai pembenaran yang dipoles dengan bumbu-bumbu sok kritis.
Misal begini, Anda seorang mahasiswa dan kampus Anda melarang mahasiswanya utk membawa mobil (sendiri) untuk kegiatan perkuliahan. Tapi ternyata Anda tetap membawa mobil dgn alasan "tempat tinggal saya jauh" sebenernya Anda naik motor pun jaraknya juga sama aja. Atau mungkin alasan "nanti kehujanan," Anda bisa aja naik motor bawa mantol. Atau alasan "panas," kalo ini alasan manja dan bodoamat untuk ditanggepin. Atau alasan "ortu saya ga ngebolehin naik motor," Anda bisa aja diantar ortu atau naik taksi. Artinya, apapun ketentuannya, Anda yg harus menyesuaikan diri dgn ketentuan, bukan ketentuan yg harus dipaksa menyesuaikan Anda. Kalo ga sanggup nyesuaiin, ya mending kuliah di tempat lain aja. Gitu lho. Mungkin terkesan jahat dan ga peduli, tapi itu yang bener.
Bukannya milih antara hitam atau putih, tapi malah menciptakan area abu-abu yang sangat luas.
Yak itu bener banget, dan sungguh area abu-abu itu bisa menjadi sangat luas karena beribu-ribu alasan bisa diciptakan untuk mengaburkan ketentuan yang sebenernya sudah ada. Bagi saya itu sangat konyol. Dan menurut saya, asas kekeluargaan ini menumbuhkan pola pikir yang seperti itu pada masyarakat.
Kalo dibiarkan, efek jangka panjangnya bakal mengarah ke musuh terbesar negeri ini; korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oiya, penyalahgunaan kewenangan jabatan juga. Tindakan-tindakan tersebut menurut saya juga sangat dipengaruhi oleh pola pikir kekeluargaan. Mungkin pelaku-pelaku ini ada yang dasarnya ngga berniat korup atau serakah, tapi karna ada unsur rasa "ngga enak ngga enakan," "pekewuh," "balas budi," dan semacamnya, mereka terjerumus juga jadinya. Balas budi bukan hal yang salah, tapi kan ada cara yang benar untuk melakukannya, tanpa harus merugikan orang lain.
So, do you get the point?
Saya rasa Anda semua sudah cukup cerdas untuk mengerti apa yang saya bicarakan. Perlu dipahami bahwa contoh-contoh kasus yang saya sebutkan di atas tidak mengandung makna terselubung dan bahwasanya saya tidak bermaksud untuk menyasar secara spesifik asas kekeluargaan pada kasus-kasus itu saja, tetapi yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana asas kekeluargaan membawa pengaruh – yang dalam konteks tertentu – buruk pada pola pikir masyarakat kita ketika sudah berhadapan dengan masalah secara nyata.
Sayang seribu sayang, kita tidak bisa – dan tidak boleh – memutuskan secara pribadi untuk kemudian meninggalkan asas kekeluargaan begitu saja, karena pada beberapa titik, hal ini akan dianggap berbenturan dengan nilai-nilai kebudayaan, adat-istiadat, atau bahkan nilai-nilai ideologi negara. Emang sebenernya bakal jadi masalah sensitif kalau kita secara gamblang menunjukkan pertentangan dengan tidak bijak. Jadi pesan saya untuk teman-teman segenerasi, belajarlah yang bener, bersikaplah bijak, dan tetap profesional; tahu kapan pantas melunak dan kapan tidak. Kalo udah pinter, mau apatis dan idealis dengan meninggalkan asas kekeluargaan, mari kita pindah ke luar negeri wkwkw.
Ini anak padmanaba ya?
ReplyDeleteOops ketahuan
DeletePUNK IS DEAD !
ReplyDeleteSuperman juga
DeleteLogan juga :(
DeleteKukira kekeluargaan itu maksudnya yg mempermudah urusan orang terdekat (misal perekrut mempunyai 10 orang yg memenuhi syarat2, tp dia cuma bisa lolosin 3, trs dia bakal pilih 3 orang yg paling dekat dengan dia. Misal temen SD, sepupu, atau se-agama/ras)
ReplyDeletefilsafat ugm 2017
ReplyDeleteMantap sekali mas faiz
ReplyDeleteTp 'maklumin' la masyarakat ada yg bodoh, masa semua pinter? Nanti sekolah ga laku dong? Wkwkwk
Btw emg masalah pola pikir yg sudah dibentuk sejak lahir, turun-temurun, dan/ atau lingkungan sih iz
Ayat yg suci aja bisa jd terlihat jahat di tangan org ggwp pinoy cyka blyat indog putang ina dll wkwkwk
Nah, pertanyaannya gmn cara efektif dan efisien utk membentuk/ merubah pola pikir seseorang menjadi 'benar' sesuai norma yg berlaku dan perkembangan zaman?
"...and to deal with these we need a cultural and spiritual transformation. And we scientists don’t know how to do that.”
-Gus Speth-
Iz gimana mantanmu, tks
ReplyDeletePls jgn bacot tks
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletehi Faiz
ReplyDeleteI'd love to read your words
I like your opinion about it at least I am so happy that finally, someone shares same appraisal.
But as you know there is no rose grows without a thorn then I want to share my opinion that related to yours
First, you mentioned the word "kekeluargaan". I just surprised when I continue reading on this page. What I expected to see was not same as what I read. I guess that you will give example on this thing called kinship from your high school life and if you did that all I can say you are trash but you are not :)
Ok then I continue reading and finally, i got only one conclusion from your three examples that the word you mentioned at the title with your examples does not correspond.
Let me explain it to you
The first example you tell us about a mature woman with motorcycle carried two children drive like crazy. It simply because she is she and she is Asian. you know a woman can't drive and Asian are bad at driving. Haha just joking don't be square haha. At this point I share the same opinion with you, I hate a woman with motorcycle even with a car. then if someone angry at her, the woman never be accused of guilt. I can't get where is the point you mention about kinship at this situation. The fault comes to our society that put women under men, I mean did your country, Indonesia has been become fully grown up in term equality between woman and man. If society tolerates about that woman behavior then the woman can't find what's her fault. why our society though about her that thing became her habit. Society thinking if woman drive like shit, it's ok because they think the woman should not drive, driving is only for man, it's masculine. do you get it? I hope so, then don't blame kinship, it is all because your society hasn't fully grown up at equality between men and women. Of I got one idea maybe she is a mother I'd like to fuck, she is pretty maybe so someone can't judge her like you found a girl selling flower at crossroad who has a big boob and pretty good face so you like her.(you told me last week)
The second example you wrote about child crime penalty. Actually, that thing has become the world issue. The court can't decide what is good for two sides, the society and the guilty child. the Time and the Conectas have good article about it maybe you should read it. if you already read it you can found the reason for lowering child penalty for the crime and hence it is not about kinship at the basic reason. The law has been built in purpose good for both sides, the society and the child. If you do not agree at lowering child penalty can you write an article about it? I want you to keep in mind that I am neutral here I'm neither pro and contra at this thing.
Then the last about college student using the car. I can say that an irony knowing both you told that habit then blame it and you did riding a motorcycle to go to high school for three years and in our school rule said that student could not use any private transportation before they have had a driving license. Oh, I still reminisced you used four wheel vehicle to school, didn't you?
ok enough for this night. thanks
why I use English? because I want to use it because i haven't use it for about one semester. I' sorry for mistake I did at English so give me a report for mistake
with affection
David
http://content.time.com/time/nation/article/0,8599,110232,00.html
http://www.conectas.org/en/actions/justice/news/32815-lowering-the-age-of-criminal-responsibility-why-it-doesn%E2%80%99t-work
Wkwkwkw great words David, and thank you so much for willing to read a bit and responding to my trashy opinion. I'm not going to reply each paragraph of your comment because actually I've already stated it in my post and if u had understood it I think you won't leave this kind of comment; it's the bold-italic section. That's the reason why I said that I didn't mean to specifically spot the kinship in those examples. Instead, I want to present a point of view how kinship affects the paradigm in our society. Maybe kinship doesn't give a direct influence in those cases but unconsciously it affects our way of thinking.
DeleteNext, maybe I made a mistake for using the second example because it creates various kind of perception to readers, and just yesterday my father also told me that lowering child penalty had become a world issue and it isn't entirely proper to use it as an example in my post. Let me explain, if you read carefully I said "apa pendapat Anda tentang pelaku kejahatan (misal begal) yang masih di bawah umur yang mendapat sanksi tidak sesuai hukum yg berlaku karna masih di bawah umur?" and then in the answer option I said "Pilihan kedua, pelaku tidak perlu dihukum sesuai ketentuan karna masih di bawah umur, ...." You should pay attention to the words "tidak sesuai hukum yang berlaku" and "tidak sesuai ketentuan." So, if lowering child penalty has been officially approved and there are rules or maybe law or directions about how to apply those lowering and then it is appropriately implemented, then I agree that it isn't wrong at all. What becomes wrong is when the lowering is just based on mercy instead of rules and directions. But once again, I dind't mean to specifically spot those cases, I wan't to make readers realize the bad effect of kinship to our paradigm.
ps. I have got my driving license since the second semester in my first grade of senior high school.
Tks
Faiz